MAROS — Empat santriwati berinisial FB (17), IM (15), AY (15), dan NM (17) yang merupakan santri di Pondok Pesantren Manbaul Ulum Firdaus, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, diduga menjadi korban pelecehan seksual oleh seorang pria berinisial AN yang menjabat sebagai Ketua Yayasan pondok pesantren tersebut. Didampingi oleh dua kuasa hukum dan keluarga korban, laporan resmi telah diajukan ke pihak kepolisian guna menindaklanjuti kasus ini.
Kasus ini pertama kali terungkap setelah pihak keluarga korban mengetahui kejadian tersebut pada akhir Januari 2025. Terduga pelaku beserta keluarganya sempat mendatangi rumah korban untuk meminta maaf dan mengusulkan penyelesaian secara kekeluargaan. Namun, pihak keluarga korban menolak tawaran tersebut dan memilih untuk menempuh jalur hukum.
Menurut Alfian Palaguna, kuasa hukum korban, pelecehan seksual diduga terjadi sejak Oktober hingga Desember 2024. Modus yang digunakan oleh pelaku adalah dengan memanfaatkan posisinya sebagai pimpinan pesantren. Pelaku mengajak korban ke ruangan tahfidz dan kamar pribadinya di dalam lingkungan pesantren, dengan alasan membahas sanksi skorsing serta meminta korban untuk memijatnya. Beberapa korban mengalami pelecehan sebanyak empat hingga tujuh kali dalam kurun waktu tersebut.
Selain itu, ada dugaan bahwa pelaku juga melakukan pelecehan di ruang muhasabah, yaitu ruangan khusus tempat santriwati menjalani sanksi dari pesantren. Ruangan berukuran sekitar 2×2 meter itu hanya berisi kasur tanpa fasilitas lain. Pelaku diduga menggunakan alasan menemani korban agar tidak merasa takut selama menjalani hukuman untuk melancarkan aksinya. Pelecehan di ruangan tersebut diduga terjadi sebanyak tiga kali, serta satu kali di kamar pribadi pelaku.
Kuasa hukum korban menegaskan bahwa laporan resmi telah diajukan ke Polres Maros. Kasus ini diproses berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dengan dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 jo. Pasal 76E Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016, subsider Pasal 64 Ayat 1 KUHP. Laporan polisi telah tercatat dengan Nomor: LP/B/45/II/2025/SPKT/POLRES MAROS/POLDA SULAWESI SELATAN tanggal 6 Februari 2025.
Saat ini, pemeriksaan terhadap korban dan saksi telah dilakukan. Kuasa hukum juga berencana membuka posko pengaduan bagi korban lain yang mungkin belum melapor akibat trauma atau ketakutan. Selain itu, mereka akan berkoordinasi dengan Kementerian Agama Kabupaten Maros guna mengevaluasi sistem di pondok pesantren terkait serta meminta bantuan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Maros untuk mendukung pemulihan psikologis korban.
Kasus ini menjadi perhatian publik dan diharapkan dapat segera diusut tuntas guna memberikan keadilan bagi para korban serta mencegah kejadian serupa di masa mendatang.