BULUKUMBA – Kuasa Hukum Ahli Waris Mappi Bersaudara, Abd.Hakim Saleh Djou SH. menyuarakan dugaan adanya praktik pengambil alihan tanah masyarakat adat yang penguasaannya sudah turun temurun dalam waktu puluhan tahun, ini terlihat dalam sidang Mediasi di Pengadilan Negeri Bulukumba pada Rabu, 23 Juli 2025 terkait pengambilalihan lahan adat yang telah dikuasai secara turun-temurun oleh masyarakat adat Baco Bin Lambeng di wilayah Dusun Bantalang Desa Pattiroang Kec.Kajang Kab.Bulukumba
Dalam keterangannya kepada media, Kuasa Hukum Ahli Waris Mappi Bin Baco Bersaudara menyebut adanya indikasi kerja sama terselubung antara dua pihak hukum pengacara adat dan yang mengatas namakan kuasa dari Pemda, yang semestinya bersikap netral dan menjunjung tinggi keadilan. Menurutnya, langkah-langkah hukum yang dilakukan oleh kedua belah pihak tampak terkoordinasi untuk mengalihkan kepemilikan lahan yang telah didiami dan dikelola oleh masyarakat adat selama puluhan tahun.
“Kami menduga ada upaya sistematis untuk menyingkirkan hak masyarakat adat dengan mengabaikan prinsip keadilan dan sejarah penguasaan tanah secara adat. Yang mengatakan bahwa tanah Ini Hutan Adat yang akan dilestarikan, ini bukan hanya sekedar sengketa tanah tapi ini menyangkut hak hidup dan identitas budaya,” tegas kuasa hukum Ahli Waris. Abd. Hakim
Lebih lanjut, ia juga menyayangkan sikap Kuasa Hukum Pemda Bulukumba yang dianggap tidak transparan dan cenderung berpihak dalam kasus ini. dengan menyatakan bahwa tanah adat tersebut adalah Hutan adat, Padahal tanah yang disengketakan memiliki nilai historis dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat Kajang sejak lama.
Menurut keterangan salah satu ahli waris dari Baco Bin Lambeng yaitu Mappi Bin Baco menyatakan bahwa selama puluhan tahun sejak tahun 1973 lahan tersebut telah dikelola oleh nenek kami yang mewarisi dari generasi ke generasi. dan bahkan kami telah memiliki bukti pembayaran PBB sebagai bentuk tanggung jawab atas kepemilikan lahan tersebut di mata negara.serta adanya dalam gambar peta blok yang bernomor 70
“Tanah ini bukan milik pribadi seorang ketua adat, tetapi milik masyarakat adat secara kolektif. Kami bayar PBB setiap tahun sebagai bentuk pengakuan dan kewajiban atas lahan ini. Kenapa sekarang tiba-tiba mau diambil alih sepihak atas nama adat disaat orang tua kami Baco Bin Lambeng baru meninggal ?” ujar Mappi salah satu anak dari Baco Bin Lambeng
Lebih lanjut kuasa hukum keluarga Mappi Bin Baco bersaudara Dalam pernyataannya, menilai ada indikasi permainan hukum yang terstruktur untuk memuluskan upaya pengambilalihan lahan adat yang selama ini menjadi sumber kehidupan dan bagian dari identitas kultural masyarakat adat.
“Kami mencium adanya kerja sama terselubung antara dua kuasa hukum yang seolah saling mendukung untuk mengesampingkan hak-hak masyarakat adat yang telah menguasai dan mengelola tanah ini selama puluhan tahun. Ini jelas bentuk pelecehan terhadap sistem adat dan hukum nasional yang mengakui keberadaan tanah adat,” tegas Abd. Hakim
Ia menambahkan bahwa tanah yang disengketakan bukan tanah kosong, melainkan wilayah adat yang telah digunakan secara nyata oleh komunitas adat untuk kepentingan pertanian, pemukiman, hingga kegiatan adat dan keagamaan. Penguasaan secara fisik dan historis ini menurutnya selaras dengan prinsip hukum adat dan juga diakui dalam sistem hukum nasional.
Tanah Adat dan Perlindungan Hukum
Dalam sistem hukum di Indonesia, keberadaan tanah adat dilindungi oleh sejumlah aturan. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 secara tegas menyatakan bahwa tanah ulayat atau tanah adat diakui keberadaannya selama masih digunakan dan diakui secara turun-temurun oleh masyarakat hukum adat.
Pasal 3 UUPA menyebut:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi.”
Selain itu, Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 35/PUU-X/2012 telah menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara, melainkan menjadi hak masyarakat hukum adat yang menguasainya.
Dengan dasar tersebut, kuasa hukum Ahli Waris menyatakan siap membawa perkara ini ke jalur hukum yang lebih tinggi, untuk dilaporkan ke Kejati Sulsel Bagian Mafia Tanah bahkan jika diperlukan hingga ke Mahkamah Konstitusi atau lembaga nasional lainnya seperti Komnas HAM dan Komnas Agraria.
“Negara wajib hadir untuk melindungi tanah adat dari praktik perampasan terselubung, apalagi jika dilakukan dengan memanipulasi jalur hukum,” pungkasnya.
Di tempat terpisah, Ketua DPW Sulsel Aliansi Rakyat Indonesia Kaharuddin Situru sebagai Lembaga pendamping masyarakat adat menjelaskan bahwa meskipun tanah adat memiliki sistem tersendiri, prinsip dasar penguasaan tanah adat tetap menjunjung tinggi asas musyawarah, kolektivitas, dan keberlanjutan hak oleh warga adat.
Pengambilalihan sepihak oleh seorang ketua adat tanpa kesepakatan masyarakat adat atau pertimbangan hukum formal dapat dianggap cacat secara hukum dan melanggar hak-hak warga serta melanggar Hak Asasi Manusia,
sebagaimana juga bunyi salah satu Asta Cita Bapak Presiden Prabowo yaitu ‘Membangun dari Desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.
“Ketua adat memang memiliki kewenangan simbolik dan kultural, namun tidak berarti memiliki hak absolut atas tanah ulayat. Apalagi jika sudah dikuasai turun-temurun oleh masyarakat dan dibayarkan PBB-nya. Itu artinya negara sudah mengakui eksistensi hak pengelolaan individu atau keluarga adat terhadap lahan tersebut,” ujar Ketua DPW Aliansi Rakyat Indonesia Sulsel
Lebih lanjut Kaharuddin Situru menyampaikan bahwa tanah adat ini telah terbayarkan PBBnya seluas 17.588 M2.sampai tahun 2025 atas nama Baco Bin Lambeng di wilayah Dusun Bantalang Desa Pattiroang Kec.Kajang Kab.Bulukumba
Kasus ini menjadi sorotan publik, terutama bagi para pemerhati hak adat dan agraria, yang menilai pentingnya menjaga keseimbangan antara hukum negara dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.
” MGI/TIM “